TINJAUAN TENTANG PEMUKIMAN DAN HUKUM PERIKATAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permukiman kumuh dan liar memang tumbuh pesat di kota-kota
besar di Indonesia, bahkan di Kota Metropolitan seperti Jakarta. Tidak
terkecuali kota besar nomor 4 di Indonesia, yang juga merasakan hal serupa,
yaitu Kota Medan. Gambar di bawah ini adalah beberapa contoh pemandangan yang
dapat dijumpai di Kota Medan.
Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah pinggiran
kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota—yang disebut dengan kampung kota.
Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (ilegal) apabila berada di
bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk permukiman,
seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah jalan layang,
di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya.
Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu
kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik
swasta maupun pemerintah, tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin
dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang sangat miskin yang tidak
mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar
sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat,
sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali
sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).
Menurut Patrick McAuslan (1986), dalam Purnawan (2004),
kehadiran permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam: (1) Massa
permukiman liar yang diorganisir, (2) keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri
menetap di atas tanah yang mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin
kepada mereka, (3) permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi
ortodoks, yaitu permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang
memiliki tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai
pembagian tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak
mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun.
Sulitnya menangani masalah permukiman kumuh dan liar ini
antara lain disebabkan oleh, pertama, highrise building (bangunan
tinggi) akan ditangani oleh penghuni yang tergusur, memerlukan biaya besar,
karena biaya yang digunakan bukan hanya untuk membangun kamar tidur saja. Kedua,
peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large project).
Harga harus dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan masak-masak
karena menyangkut banyak orang yang akan digusur atau dimukimkan kembali. Ketiga,
adanya dualisme antara peremajaan lingkungan dengan penataan lingkungan.
Penghuni rumah kumuh biasanya masih lebih senang tinggal di rumah kumuhnya
daripada di Rumah Susun Sewa (Rusunawa). Keempat, banyak peremajaan
lingkungan kumuh yang tidak melalui survei sosial (social survei)
tentang karakteristik penduduk yang akan tergusur. Kelima, banyak
peremajaan lingkungan kumuh yang kurang memperhatikan kelengkapan lingkungan
seperti taman, tempat terbuka, tempat rekreasi, sampah, pemadam kebakaran dan
tempat bermain anak. Karena hal tersebut memerlukan biaya besar. Keenam,
tenaga yang bergerak pada program peremajaan lingkungan kumuh tidak
profesional. Ketujuh, penggusuran (squater clearance) sering
diartikan jelek, padahal pemerintah berusaha meremajakan lingkungan dan memukimkan
penduduk ke lingkungan yang lebih baik.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam tugas ini akan dibahas beberapa masalah, diantaranya :
1.
Tentang apa isi UU no 4 tahun 1992.
2.
Kebijakan tengan rusun.
3.
Hukum perikatan.
1.3 Tujuan
Pentingnya mempertahankan kemerdekaan bangsa Indoneisa dan dalam mencapai tujuan nasional. Seluruh warganegara suata Bangsa harus mempunyai kesadaran bahwa pentingnya hal tersebut. Di harapkan dengan penulisan makalah ini pembaca dapat :
1.
Menambah wawasan terkait isi UU no 4
tahun 1992
2.
Bisa mengkritisi fenomenal permasalahan
yang ada.
3. Semoga setelah pembaca membaca
makalah ini apa yang menjadi
tujuan penulisan makalah ini dapat tercapai. Dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat serta dapat di manfaatkan dengan baik.
tujuan penulisan makalah ini dapat tercapai. Dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat serta dapat di manfaatkan dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
UU No 4 Tahun
1992
UU no 4 tahun 1992 yaitu berisi tentang
hukum tentang perumahan dan pemukiman, dimana hal tersebut mengatur bagaimana
membuat pembangunan yang layak, sehat dan aman. Terlebih lagi kawasan yang
semestinya untuk tidak dijadikan pemukiman akan terlihat jelas bahwa ada uu
yang mengatur hal tersebut dimana dikembangkan secara terpadu, terarah,
berencana, dan berkesinambungan.
Peningkatan dan pengembangan
pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek permasalahannya
perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata
ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan
nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup,
dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
2.2. Beberapa definisi UU No 4 Tahun 1992
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan :
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga;
2, Perumahan adalah kelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau lingkungan hunian yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan;
3. Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan;
4. Satuan lingkungan permukiman adalah
kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan
ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur;
5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan
yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
6. Sarana lingkungan adalah fasililas
penunjang, yang b erfungsi untuk penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan
ekonomi, sosial dan budaya;
7. Utilitas umum adalah sarana
penunjang untuk pelayanan lingkungan;
8. Kawasan siap bangun adalah sebidang
tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan
permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau
lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu
dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai
dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana
lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruang
lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
9. Lingkungan siap bangun adalah
sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri
sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan
selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun
kaveling tanah matang;
10. Kaveling tanah matang adalah
sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan
dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
11. Konsolidasi tanah permukiman adalah
upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh
masyarakat Pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun dan menyediakan
kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan
Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta rencana tata
ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 2
(1) Lingkup pengaturan Undang-undang
ini meliputi penataan dan pengelolaan perumahan dari permukiman, baik di daerah
perkotaan maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi.
(2) Lingkup Pengaturan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan
pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan
pemanfaatannya, sedangkan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan
pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan
pemanfaatannya.
2.3. Asas, Tujuan dan Lingkup
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas
manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri
sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :
a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan
dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
c. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran
penduduk yang rasional;
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya,
dan bidangbidang lain.
2.4.
Isi UU No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan
dan Pemukiman
PERUMAHAN
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak
untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan
dan permukiman.
Pasal 6
(1) Kegiatan pembangunan rumah atau
perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Pembangunan rumah atau perumahan
oleh bukan pemilik hak atas tanah dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik
hak atas tanah dengan suatu perjanjian tertulis.
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan yang
membangun rumah atau perumahan wajib :
a. mengikuti persyaratan teknis,
ekologis, dan administratif; b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena
dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan; c. melakukan pengelolaan
lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Setiap pemilik rumah atau yang
dikuasakannya wajib :
a. memanfaatkan rumah sebagaimana
mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal atau hunian; b.
mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau
keagamaan dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan
khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan
status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 11
(1) Pemerintah melakukan pendataan
rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman.
(2) Tata cara pendataan rumah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik
hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
(2) Penghunian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilakukan baik dengan cara sewa-menyewa maupun dengan cara bukan
sewa-menyewa.
(3) Penghunian rumah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dengan cara sewa-menyewa dilakukan dengan perjanjian
tertulis, sedangkan penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat
dilakukan dengan perjanjian tertulis.
(4) Pihak penyewa wajib menaati
berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis.
(5) Dalam hal penyewa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai
dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian
dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan
instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) Sewa-menyewa rumah dengan
perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung
sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3
(tiga) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa
rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari Pemerintah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan
pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) a. Pembebanan fidusia atas rumah
dilakukan dengan akta o tentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. b. Pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah
yang haknya dimiliki pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
(1) Pemilikan rumah dapat beralih dan
dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemindahan pemilikan rumah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta otentik.
Pasal 17
Peralihan hak milik atas satuan rumah
susun dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.3.5. Persyaratan Pembangunan Gedung menurut UU No 28 Tahun
2002
(1)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
(2) Persyaratan administratif bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas
tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.
(3) Persyaratan teknis bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan
persyaratan keandalan bangunan gedung.
(4) Penggunaan ruang di atas dan/atau
di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung harus memiliki izin
penggunaan sesuai ketentuan yang berlaku.
(5)
Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat,
bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung
yang dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
sesuai kondisi sosial dan budaya setempat.
PEMUKIMAN
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman
diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana
secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangungan kawasan permukiman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk :
a. Menciptakan kawasan permukiman yang
tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman; b. Mengintegrasikan secara
terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau disekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman
satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai
dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan
kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian
atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan
dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan
sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci; b.
data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah c. jaringan primer dan sekunder
prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan
program pembangunan sektor mengenai prasarana,
sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk
mendukung terwujudnya kawasan siap
bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh
Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan
siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha
milik Negara dan/atau badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi
untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta
penunjukkan badan usaha milik negara dan/atau badan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan
kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di
bidang pembangunan perumahan.
(5) Kerjasama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) tidak menghilangkan wewenang dan tanggungjawab badan usaha milik
negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tata cara kerjasama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan
lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh
masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan
perumahan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukkan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai
kawasan siap bangun P emerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan
dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu
melakukan konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah
yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di
lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi tanah
oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan
dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah
yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum berwujud kaveling tanah
matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan
oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan
siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun
selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha dibidang pembangunan
perumahan wajib :
a. melakukan pematangan tanah, penataan
penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam
rangka penyediaan kaveling tanah matang;
b. membangun jaringan prasarana
lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya
sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan
penyediaan utilitas umum;
d. membanlu masyarakat pemilik tanah
yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya
dalam melakukan konsolidasi tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana
lingkungan;
g. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun
yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah dengan
memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang
meliputi kegiatan - kegiatan :
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana
lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan
perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah
matang tanpa rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang pembangunan
perumahan yang membangun linkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah
matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil,
sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat
dapat diperjualbelikan tanpa rumah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan,
bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun
dalam tahap pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk
meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman
sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) berupa kegiatan-kegiatan :
a. perbaikan atau pemugaran; b. peremajaan; c. pengelolaan dan
pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan
suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama
masyarakat mengupayakan langkahlangkah pelaksanaan program peremajaan
lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
2.5.
Kebijakan tentang rumah susun
Dimana hal ini sudah diatur sebagaimana
di dalam UURS (Undan – Undang Rumah Susun) yang isi nya sebagai berikut.
Arah kebijaksanaan
rumah susun di Indonesia tercantum dalam UURS berisi 3 (tiga) unsur pokok,
yaitu:
- Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan, dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan penduduk;
- Konsep pembangunan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan pemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni, yang dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik satuan rumah susun, berwenang mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan rumah susun;
- Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik atau fidusia atas tanah beserta gedung yang masih dibangun.
Berdasarkan
arah kebijaksanaan tersebut, maka tujuan pembanguan rumah susun adalah:
- Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat;
- Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang;
- Untuk meremajakan daerah-daerah kumuh;
- Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan;
- Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk
Beberapa tujuan
tersebut harus menjadi pedoman bagi pengusaha jasa pembangunan (developer)
rumah susun. Di dalam Penjelasan Umum UURS ditegaskan bahwa pembangunan rumah
susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan rumah susun
harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga
diperlukan adanya bangunan bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang
terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah.
Oleh karena itu, ada
pembangunan rumah susun yang digunakan bukan untuk hunian melainkan fungsinya memberikan
lapangan kehidupan masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan,
perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Hal ini diatur dalam Pasal 24
UURS yang menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UURS berlaku dengan
penyesuaian menurut kepentingannya terhadap rumah susun yang dipergunakan untuk
keperluan lain, mengingat bahwa dalam kenyataannya terdapat kebutuhan akan
rumah susun yang bukan untuk hunian tetapi mendukung fungsi pemukiman dalam
rangka menunjang kehidupan masyarakat.
2.6.
Hukum Perikatan
2.6.1 Definisi
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang
hukum pribadi(pers onal law).
2.6.2 Dasar Hukum
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan
yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan (
Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan
( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang
( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
2.6.2 Asas Asas Hukum Perikatan
1.
ASAS KONSENSUALISME
Asas
konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt.
Pasal
1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
(1)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3)
suatu hal tertentu
(4)
suatu sebab yang halal.
Pengertian
kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui
antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
2.
ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas
pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat
(1) KUHPdt:
·
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang….”
·
Para pihak harus menghormati perjanjian dan
melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para
pihakASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan
parapihak untuk :
·
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
·
Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
·
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya;
·
Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau
lisan.ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Di samping ketiga asas utama tersebut, masih
terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.
Asas kepercayaan;
2.
Asas persamaan hukum;
3.
Asas keseimbangan;
4.
Asas kepastian hukum;
5.
Asas moral;
6.
Asas kepatutan;
7.
Asas kebiasaan;
8.
Asas perlindungan;
2.7 Hukum Perjanjian
2.7.1 Standar Kontrak
Menurut Mariam Darus, standar
kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
·
Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
·
Kontrak
standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya
dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Menurut Remi Syahdeini, keabsahan
berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru
eksistensinya sudah merupakan kenyataan.
Kontrak baru lahir dari kebutuhan
masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih
dipersoalkan.
Suatu
kontrak harus berisi:
1. Nama dan tanda tangan pihak-pihak
yang membuat kontrak.
2. Subjek dan jangka waktu kontrak
3. Lingkup kontrak
4. Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
5. Kewajiban dan tanggung jawab
6. Pembatalan kontrak
2.7.2 Macam Macam Perjanjian
1. Perjanjian Jual-beli
2. Perjanjian Tukar Menukar
3. Perjanjian Sewa-Menyewa
4. Perjanjian Persekutuan
5. Perjanjian Perkumpulan
6. Perjanjian Hibah
7. Perjanjian Penitipan Barang
8. Perjanjian Pinjam-Pakai
9. Perjanjian Pinjam Meminjam
10. Perjanjian Untung-Untungan
2.7.3 Syarat Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang
diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada
pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang
untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap
orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3. Suatu hal tertentu Suatu hal
tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat
menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang
paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4. Sebab yang halal Sebab ialah tujuan
antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal
1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang
Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335
KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai
kekuatan atau batal demi hukum.
2.7.4 Pembatalan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian
ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya
terjadi karena;
1. Adanya suatu pelanggaran dan
pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau
tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya
kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah
pengadilan
4. Terlibat hokum
5. Tidak lagi memiliki lisensi,
kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian
BAB III
PERMASALAHAN
3.1 Masalah terkait pemukiman,
kepemilikan, sengketa, dan kekumuhan
Masalah sengketa tanah terjadi di
daerah Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. Masyarakat
Telukjambe mengklaim bahwa hak tanah mereka seluas 350 Ha dirampas properti
raksana Agung Podomoro Land (APLN).Advokat Johnson Panjaitan merespons hal ini,
mewakil masyarakat setempat, Johnson berupaya menjadi fasilitator atas
permasalahan ini.
“Apa yang dilakukan APLN dan aparat hukum selain justru mencederai hukum kita, mengandung unsur melawan HAM (Hak Asasi Manusia), bahkan melawan konstitusi negara. Dengan cara itu pun, negara ikut mendorong proses pemiskinan terhadap warganya,” kata Johnson melalu siaran pers, di Jakarta, Senin (1/2/2016).Akibatnya, perlawanan warga terus berlanjut dan kasus sengketa tanah yang telah terjadi sejak 1991 itu masih terkatung-katung. Menurut Johnson, semua pihak harus berpijak pada kebenaran, bukan malah suka kesewenang-wenangan. "Padahal sebagai perusahaan besar yang go public dan menghimpun dana masyarakat harusnya bertindak benar, jujur dan transparan. Penjualan tanah bermasalah dapat menyebabkan kerugian bagi publik khususnya para calon konsumen.Dia meminta semua pihak terkait termasuk PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP), anak usaha Agung Podomoro Land (APLN). PT SAMP diketahui telah berubah nama menjadi PT Buana Makmur Indah (BMI), harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini secara baik dan bermartabat, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
“Apa yang dilakukan APLN dan aparat hukum selain justru mencederai hukum kita, mengandung unsur melawan HAM (Hak Asasi Manusia), bahkan melawan konstitusi negara. Dengan cara itu pun, negara ikut mendorong proses pemiskinan terhadap warganya,” kata Johnson melalu siaran pers, di Jakarta, Senin (1/2/2016).Akibatnya, perlawanan warga terus berlanjut dan kasus sengketa tanah yang telah terjadi sejak 1991 itu masih terkatung-katung. Menurut Johnson, semua pihak harus berpijak pada kebenaran, bukan malah suka kesewenang-wenangan. "Padahal sebagai perusahaan besar yang go public dan menghimpun dana masyarakat harusnya bertindak benar, jujur dan transparan. Penjualan tanah bermasalah dapat menyebabkan kerugian bagi publik khususnya para calon konsumen.Dia meminta semua pihak terkait termasuk PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP), anak usaha Agung Podomoro Land (APLN). PT SAMP diketahui telah berubah nama menjadi PT Buana Makmur Indah (BMI), harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini secara baik dan bermartabat, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Sebelumnya,
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Karawang akhirnya menyegel
gedung pemasaran kawasan industri yang diklaim milik PT SAMP/BMI. Penyegelan
itu dilakukan Jumat 29 Januari 2016, karena BMI melakukan pembangunan tanpa
mengantongi izin dari Pemkab Karawang. “Gedung itu dibangun tanpa memiliki izin apapun dari Pemkab Karawang,
maka kami menghentikan kegiatannya dengan cara menyegel sampai semua perizinan
terpenuhi,” kata Kepala Satpol PP Karawang Widjojo GS.
Dari kasus diatas dapat kita simpulkan
bahwa terjadi sengketa tanah antara Perusahaan besar dan warga sekitar, dengan
ini sengketa dapat diselesaikan dengan cara misal. Mediasi yaitu dengan pihak
ketigas yang netral, tetapi hal ini sudah dilakukan dan tidak berhasil.
Menurut saya hal ini bisa di selesaikan
dengan cara Arbitrasi dimana hak kekuasaan penuh diberikan kepada orang ketiga
yang memiliki pengetahuan , jujur dan adil, Lalu diberikan kepada siapa
terhadap kasus diatas?. Diberikan kepada negara, dengan ini negara dapat
memutuskan, sengketa kepada kepemilik yang benar tanpa dirugikan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Rumah adalah hak dasar dari setiap
individu. Pemenuhan kebutuhan perumahan merupakan hal yang mutlak untuk
dilakukan. Masalah yang sering timbul adalah bagaimana menyediakan perumahan
yang layak dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dilema
penggusuran permukiman liar terus bergulir dari waktu ke waktu. Tidak dapat
dimungkiri, kesalahan ini tidak hanya terletak pada warga permukiman liar,
namun juga Pemerintah yang telah memberikan “pengakuan” dan fasilitas kepada
permukiman liar ini. Tinjauan dari sisi hukum dan humanisme di atas setidaknya
dapat memberikan masukan kepada semua pihak bagaimana menangani kasus
permukiman liar di perkotaan dengan atau tanpa penggusuran. Jika penggusuran
merupakan pilihan terakhir yang harus dilakukan, pelibatan masyarakat dalam
proses relokasi sejak awal sampai dengan pemindahan ke lokasi baru adalah hal
yang mutlak diperlukan. Sehingga, dampak yang ditimbulkan dari penggusuran
dapat diminimalkan.
4.2
Saran
Undang – Undang
dibuat untuk menata aturan yang berlaku, Perjanjian dibuat untuk kesepakatan
diantara dua pihak, dengan adanya undang – undang perjanjian pun dibuat dengan
hukum yang berlaku dan tidak asal, oleh karena itu Perjanjian yang baik adalah
dengan mengikuti sebagaimana mestinya hukum berlaku pada undang undang.
Sumber : http://kotaku.pu.go.id/wartadetil.asp?mid=8368&catid=2&
https://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/
http://bobobpratiwi.blogspot.com/2013/04/bab-4-azas-azas-hukum-perikatan.html
http://www.negarahukum.com/hukum/hapusnya-perikatan.html
http://taniaanjani.blogspot.com/2013/05/hukum-perjanjian.html
https://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/
http://bobobpratiwi.blogspot.com/2013/04/bab-4-azas-azas-hukum-perikatan.html
http://www.negarahukum.com/hukum/hapusnya-perikatan.html
http://taniaanjani.blogspot.com/2013/05/hukum-perjanjian.html