Monday, November 20, 2017

TINJAUAN TENTANG PEMUKIMAN DAN HUKUM PERIKATAN



TINJAUAN TENTANG PEMUKIMAN DAN HUKUM PERIKATAN


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permukiman kumuh dan liar memang tumbuh pesat di kota-kota besar di Indonesia, bahkan di Kota Metropolitan seperti Jakarta. Tidak terkecuali kota besar nomor 4 di Indonesia, yang juga merasakan hal serupa, yaitu Kota Medan. Gambar di bawah ini adalah beberapa contoh pemandangan yang dapat dijumpai di Kota Medan.
Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota—yang disebut dengan kampung kota. Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (ilegal) apabila berada di bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk permukiman, seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya.
Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta maupun pemerintah, tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).
Menurut Patrick McAuslan (1986), dalam Purnawan (2004), kehadiran permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam: (1) Massa permukiman liar yang diorganisir, (2) keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka, (3) permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun.
Sulitnya menangani masalah permukiman kumuh dan liar ini antara lain disebabkan oleh, pertama, highrise building (bangunan tinggi) akan ditangani oleh penghuni yang tergusur, memerlukan biaya besar, karena biaya yang digunakan bukan hanya untuk membangun kamar tidur saja. Kedua, peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large project). Harga harus dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan masak-masak karena menyangkut banyak orang yang akan digusur atau dimukimkan kembali. Ketiga, adanya dualisme antara peremajaan lingkungan dengan penataan lingkungan. Penghuni rumah kumuh biasanya masih lebih senang tinggal di rumah kumuhnya daripada di Rumah Susun Sewa (Rusunawa). Keempat, banyak peremajaan lingkungan kumuh yang tidak melalui survei sosial (social survei) tentang karakteristik penduduk yang akan tergusur. Kelima, banyak peremajaan lingkungan kumuh yang kurang memperhatikan kelengkapan lingkungan seperti taman, tempat terbuka, tempat rekreasi, sampah, pemadam kebakaran dan tempat bermain anak. Karena hal tersebut memerlukan biaya besar. Keenam, tenaga yang bergerak pada program peremajaan lingkungan kumuh tidak profesional. Ketujuh, penggusuran (squater clearance) sering diartikan jelek, padahal pemerintah berusaha meremajakan lingkungan dan memukimkan penduduk ke lingkungan yang lebih baik.
 1.2 Rumusan Masalah

Dalam tugas ini akan dibahas beberapa masalah, diantaranya :
1.      Tentang apa isi UU no 4 tahun 1992.
2.      Kebijakan tengan rusun.
3.      Hukum perikatan.
1.3 Tujuan

Pentingnya mempertahankan kemerdekaan bangsa Indoneisa dan dalam mencapai tujuan nasional. Seluruh warganegara suata Bangsa harus mempunyai kesadaran bahwa pentingnya hal tersebut. Di harapkan dengan penulisan makalah ini pembaca dapat :
1.      Menambah wawasan terkait isi UU no 4 tahun 1992
2.      Bisa mengkritisi fenomenal permasalahan yang ada.
3.      Semoga setelah pembaca membaca makalah ini apa yang menjadi
tujuan penulisan makalah ini dapat tercapai. Dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat serta dapat di manfaatkan dengan baik.














                                                                            BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian UU No 4 Tahun 1992
UU no 4 tahun 1992 yaitu berisi tentang hukum tentang perumahan dan pemukiman, dimana hal tersebut mengatur bagaimana membuat pembangunan yang layak, sehat dan aman. Terlebih lagi kawasan yang semestinya untuk tidak dijadikan pemukiman akan terlihat jelas bahwa ada uu yang mengatur hal tersebut dimana dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana, dan berkesinambungan.
Peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup,
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

2.2. Beberapa definisi UU No 4 Tahun 1992
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :  
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga;  
2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan;
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur;
5. Prasarana lingkungan  adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
6. Sarana lingkungan adalah fasililas penunjang, yang b erfungsi untuk penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya;
7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;
8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang;
10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat Pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun  lingkungan siap bangun dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 2
(1) Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan pengelolaan perumahan dari permukiman, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
(2) Lingkup Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya, sedangkan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
2.3. Asas, Tujuan dan Lingkup
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :
a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
c. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional;
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidangbidang lain.
2.4.  Isi UU No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman
PERUMAHAN
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 6
(1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  
(2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan suatu perjanjian tertulis.  
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :  
a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif; b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan; c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8  
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib :  
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal atau hunian; b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.  
Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman.
(2) Tata cara pendataan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
(2) Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan baik dengan cara sewa-menyewa maupun dengan cara bukan sewa-menyewa.
(3) Penghunian rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan cara sewa-menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat dilakukan dengan perjanjian tertulis.
(4) Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis.
(5) Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13  
(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari Pemerintah.  
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
  (1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) a. Pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta o tentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
(1) Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemindahan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta otentik.
Pasal 17
Peralihan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.3.5. Persyaratan Pembangunan Gedung menurut UU No 28 Tahun 2002
(1)  Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
(2) Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.
(3) Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
(4) Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan yang berlaku.
(5)  Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat.
PEMUKIMAN
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangungan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk :
a. Menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman; b. Mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan  yang telah ada di dalam atau disekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci; b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah c. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana,  sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung  terwujudnya kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).  
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik Negara dan/atau badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukkan badan usaha milik negara dan/atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.   (4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang pembangunan perumahan.
(5) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan wewenang dan tanggungjawab badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun P emerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha dibidang pembangunan perumahan wajib :
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang;  
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d. membanlu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan; 
g. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan - kegiatan :
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun linkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan tanpa rumah.     Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) berupa kegiatan-kegiatan :
a. perbaikan atau pemugaran;  b. peremajaan; c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkahlangkah pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
2.5.  Kebijakan tentang rumah susun
Dimana hal ini sudah diatur sebagaimana di dalam UURS (Undan – Undang Rumah Susun) yang isi nya sebagai berikut.
Arah kebijaksanaan rumah susun di Indonesia tercantum dalam UURS berisi 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
  1. Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan, dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan penduduk;
  2. Konsep pembangunan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan pemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni, yang dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik satuan rumah susun, berwenang mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan rumah susun;
  3. Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik atau fidusia atas tanah beserta gedung yang masih dibangun.
Berdasarkan arah kebijaksanaan tersebut, maka tujuan pembanguan rumah susun adalah:
  1. Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat;
  2. Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang;
  3. Untuk meremajakan daerah-daerah kumuh;
  4. Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan;
  5. Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk
Beberapa tujuan tersebut harus menjadi pedoman bagi pengusaha jasa pembangunan (developer) rumah susun. Di dalam Penjelasan Umum UURS ditegaskan bahwa pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah.
Oleh karena itu, ada pembangunan rumah susun yang digunakan bukan untuk hunian melainkan fungsinya memberikan lapangan kehidupan masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Hal ini diatur dalam Pasal 24 UURS yang menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UURS berlaku dengan penyesuaian menurut kepentingannya terhadap rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain, mengingat bahwa dalam kenyataannya terdapat kebutuhan akan rumah susun yang bukan untuk hunian tetapi mendukung fungsi pemukiman dalam rangka menunjang kehidupan masyarakat.
2.6.  Hukum Perikatan
2.6.1 Definisi
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
2.6.2 Dasar Hukum
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.      Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.      Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.      Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
2.6.2 Asas Asas Hukum Perikatan
1. ASAS KONSENSUALISME
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt.
Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3) suatu hal tertentu
(4) suatu sebab yang halal.
Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN

2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt:
·         Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
·         Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihakASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN

3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
·         Membuat atau tidak membuat perjanjian;
·         Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
·         Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
·         Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN

Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.      Asas kepercayaan;
2.      Asas persamaan hukum;
3.      Asas keseimbangan;
4.      Asas kepastian hukum;
5.      Asas moral;
6.      Asas kepatutan;
7.      Asas kebiasaan;
8.      Asas perlindungan;
2.7 Hukum Perjanjian
2.7.1 Standar Kontrak
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
·         Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
·         Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
      Menurut Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan.
      Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.
Suatu kontrak harus berisi:
1.      Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2.      Subjek dan jangka waktu kontrak
3.      Lingkup kontrak
4.      Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
5.      Kewajiban dan tanggung jawab
6.      Pembatalan kontrak

2.7.2 Macam Macam Perjanjian
1.      Perjanjian Jual-beli
2.      Perjanjian Tukar Menukar
3.      Perjanjian Sewa-Menyewa
4.      Perjanjian Persekutuan
5.      Perjanjian Perkumpulan
6.      Perjanjian Hibah
7.      Perjanjian Penitipan Barang
8.      Perjanjian Pinjam-Pakai
9.      Perjanjian Pinjam Meminjam
10.  Perjanjian Untung-Untungan

2.7.3 Syarat Perjanjian

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1.      Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3.      Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4.      Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.

2.7.4 Pembatalan Suatu Perjanjian

Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
1.      Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2.      Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3.      Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4.      Terlibat hokum
5.      Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian



                                                                        BAB III
PERMASALAHAN
3.1 Masalah terkait pemukiman, kepemilikan, sengketa, dan  kekumuhan
            Masalah sengketa tanah terjadi di daerah Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. Masyarakat Telukjambe mengklaim bahwa hak tanah mereka seluas 350 Ha dirampas properti raksana Agung Podomoro Land (APLN).Advokat Johnson Panjaitan merespons hal ini, mewakil masyarakat setempat, Johnson berupaya menjadi fasilitator atas permasalahan ini.
“Apa yang dilakukan APLN dan aparat hukum selain justru mencederai hukum kita, mengandung unsur melawan HAM (Hak Asasi Manusia), bahkan melawan konstitusi negara. Dengan cara itu pun, negara ikut mendorong proses pemiskinan terhadap warganya,” kata Johnson melalu siaran pers, di Jakarta, Senin (1/2/2016).Akibatnya, perlawanan warga terus berlanjut dan kasus sengketa tanah yang telah terjadi sejak 1991 itu masih terkatung-katung. Menurut Johnson, semua pihak harus berpijak pada kebenaran, bukan malah suka kesewenang-wenangan. "Padahal sebagai perusahaan besar yang go public dan  menghimpun dana masyarakat harusnya bertindak benar, jujur dan transparan. Penjualan tanah bermasalah dapat menyebabkan kerugian bagi publik khususnya para calon konsumen.Dia meminta semua pihak terkait termasuk PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP), anak usaha Agung Podomoro Land (APLN). PT SAMP diketahui telah berubah nama menjadi PT Buana Makmur Indah (BMI), harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini secara baik dan bermartabat, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Sebelumnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Karawang akhirnya menyegel gedung pemasaran kawasan industri yang diklaim milik PT SAMP/BMI. Penyegelan itu dilakukan Jumat 29 Januari 2016, karena BMI melakukan pembangunan tanpa mengantongi izin dari Pemkab Karawang. “Gedung itu dibangun tanpa memiliki izin apapun dari Pemkab Karawang, maka kami menghentikan kegiatannya dengan cara menyegel sampai semua perizinan terpenuhi,” kata Kepala Satpol PP Karawang Widjojo GS.
Dari kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa terjadi sengketa tanah antara Perusahaan besar dan warga sekitar, dengan ini sengketa dapat diselesaikan dengan cara misal. Mediasi yaitu dengan pihak ketigas yang netral, tetapi hal ini sudah dilakukan dan tidak berhasil.
Menurut saya hal ini bisa di selesaikan dengan cara Arbitrasi dimana hak kekuasaan penuh diberikan kepada orang ketiga yang memiliki pengetahuan , jujur dan adil, Lalu diberikan kepada siapa terhadap kasus diatas?. Diberikan kepada negara, dengan ini negara dapat memutuskan, sengketa kepada kepemilik yang benar tanpa dirugikan.





BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Rumah adalah hak dasar dari setiap individu. Pemenuhan kebutuhan perumahan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Masalah yang sering timbul adalah bagaimana menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dilema penggusuran permukiman liar terus bergulir dari waktu ke waktu. Tidak dapat dimungkiri, kesalahan ini tidak hanya terletak pada warga permukiman liar, namun juga Pemerintah yang telah memberikan “pengakuan” dan fasilitas kepada permukiman liar ini. Tinjauan dari sisi hukum dan humanisme di atas setidaknya dapat memberikan masukan kepada semua pihak bagaimana menangani kasus permukiman liar di perkotaan dengan atau tanpa penggusuran. Jika penggusuran merupakan pilihan terakhir yang harus dilakukan, pelibatan masyarakat dalam proses relokasi sejak awal sampai dengan pemindahan ke lokasi baru adalah hal yang mutlak diperlukan. Sehingga, dampak yang ditimbulkan dari penggusuran dapat diminimalkan.
4.2 Saran
Undang – Undang dibuat untuk menata aturan yang berlaku, Perjanjian dibuat untuk kesepakatan diantara dua pihak, dengan adanya undang – undang perjanjian pun dibuat dengan hukum yang berlaku dan tidak asal, oleh karena itu Perjanjian yang baik adalah dengan mengikuti sebagaimana mestinya hukum berlaku pada undang undang.


 Sumber : http://kotaku.pu.go.id/wartadetil.asp?mid=8368&catid=2&
https://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/
http://bobobpratiwi.blogspot.com/2013/04/bab-4-azas-azas-hukum-perikatan.html
http://www.negarahukum.com/hukum/hapusnya-perikatan.html
http://taniaanjani.blogspot.com/2013/05/hukum-perjanjian.html